Figur Wayang
Kidung Malam 90
Hari Baru
Pagi itu hutan Kamiyaka sunggu amat cerah. Aneka burung leluasa berkejar-kejaranan. Burung Urang-urangan, burung kepodang, burung gogik, burung kutilang, dan burung slindhitan. Kicaunya lepas bebas bersautan bertumpangan. Hari baru dan hidup baru telah mulai dititi oleh pasangan yang berbahagia. Mereka bersama alam yang segar dan cerah meluapkan kegembiraannya atas perkawinan Puntadewa dan Dewi Durpadi. Beberapa orang yang masih berada di sekitar rumah kayu tempat Kunti dan Pandawa tinggal, merasakan kegembiraan itu. Mereka sengaja tinggal sampai hari ini agar mendapat kesempatan yang lebih leluasa untuk mendekat dan bertatap muka secara langsung dengan pengantin berdua.
Ekspresi wajah mereka yang polos dan tulus menggerakkan hati Puntadewa dan Dewi Durpadi untuk menghampiri orang-orang yang masih berada di tempat itu. Sapaan Puntadewa dan Dewi Durpadi memberi kelegaan, kesejukan dan kegembiraan bagi mereka. Seperti yang diharapkan dan diimpikan, mereka ingin berbicara langsung dengan pewaris Hastinapura yang selama ini telah dianggap mati terbakar pada peristiwa Bale Sigala-gala. Pada kesempatan tersebut Kunti, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa ikut mengucapkan terimakasih atas kedatangan, perhatian dan bantuan yang telah diberikan demi semaraknya upacara perkawinan antara Puntadewa dan Dewi Durpadi.
Puntadewa dan Dewi Durpadi merasakan banyak orang mencintai dirinya. Bahkan alam dan burung-burung pun juga mencintai dirinya. Mereka berdua berjanji di dalam hati untuk membalas cinta mereka. Jika pun nanti pada saatnya, kami benar-benar menjadi raja kami akan berusaha mengayomi mereka, mensejahterakan mereka dan mencintai mereka, juga mencintai alam beserta ciptaan yang lain. Aku akan menjadi raja yang memayu hayuning bawana, raja yang mampu membuat dunia menjadi indah baik dan selamat. Janji Puntadewa di dalam hati.
Mereka merasa puas dapat bertemu dan mengungkapan doa dan harapannya secara langsung kepada pengantin dan Pandawa. Sebelum matahari berada tepat di atas kepala, mereka memohon diri untuk kembali ke rumah masing-masing.
Kabar Kemenangan Bima pada sayembara di Pancalaradya dan dilanjutkan dengan perkawinan Puntadewa dan Dewi Durpadi telah sampai di tahta Hastinapura. Destarastra raja Hastina terkejut bukan kepalang ketika mendengar kabar bahwa Kunti dan Pendawa masih hidup. Ada perasaan bersalah karena ia telah membiarkan Patih Sengkuni dan Dewi Gendari mengangkat Duryudana menjadi pangeran pati untuk disiapkan menduduki tahta, menjadi raja Hastinapura. Pada hal tahta itu titipan dari Pandu adik Prabu Destarastra.
Sekali lagi, Destarastra merasa ditipu oleh Patih Sengkuni yang telah meyakinkan pada dirinya belasan tahun lalu bahwa Kunti dan Pandawa mati terbakar. Tetapi pada kenyataannya mereka masih hidup. Bahkan berhasil memenangkan sayembara yang juga diikuti oleh anak-anaknya. Itu artinya bahwa hingga saat ini anak-anaknya masih belum mampu menandingi kemampuan Pandawa.
“Tidak!!! Tidak boleh Duryudana menduduki tahta. Tahta itu milik anak-anahk Pandu” Ada gelombang kemarahan yang sengaja dibendung Destarastra.
Ketika Destarastra sulit mengedalikan amarahnya, Dewi Gendari yang piawai mendinginkan hati pasangannya segera meluncurkan kata-kata yang menyejukkan.
“Jangan cemas dan binggung Kakanda Prabu Destarastra. Memang benar tahta itu milik Pandu ketika itu. Namun sekarang Pandu telah wafat dan tahta warisan dari Ramanda Abiyasa tersebut kosong. Sehingga dengan demikian kedudukan Pandawa dan Kurawa adalah sama, yaitu cucu raja Abiyasa. Diantara para cucu Abiyasa, bukankah Duryudana merupakan cucu yang tertua? Apalagi secara lahir dan batin ia lebih siap menduduki tahta dibandingkan dengan Pandawa yang masih belia dan hidup tidak menentu di hutan. Oleh karenanya Kakanda tidak perlu merasa bersalah, dan menyalahkan aku serta Patih Sengkuni. Pengangkatan Duryudana sudah dipikirkan dengan matang.”
“Gendari! Tidak hanya soal pengangkatan Duryudana, tetapi engkau dan Patih Sengkuni telah menipu aku, dengan mengatakan dan meyakinkan bahwa Kunti dan Pandawa telah mati terbakar. Tetapi pada kenyataannya mereka masih segar bugar.“ Destarastra berdiri, kata-katanya masih menunjukan kemarahannya.
Dewi Gendari ikut berdiri sembari memapah Destarastra.
“Maaf Kakanda, hidup dan mati ada ditangan Tuhan. Aku dan Patih Sengkuni pun merasa tertipu ketika mendengar kabar bahwa Kunti dan Pendawa masih hidup. Ada rasa tidak percaya sebelum membuktikan dan melihat sendiri keberadaan Pandawa. Oleh karenanya ijinkanlah Patih Sengkuni dan Kurawa datang di hutan Kamiyaka untuk membuktikan apakah benar bahwa Kunti dan Pandawa masih selamat”
“Jika benar-benar Kunti dan Pandawa masih selamat apa yang akan kalian lakukan? bagaimana jika mereka menuntut hak tahta Hastinapura?” desak Destarastra.
Srikandi mengusap dada Prabu Destarastra dengan jari-jarinya yang lembut. Kemudian kepala Gendari dibenamkan ke dada Destarastra yang bidang.
“Kakanda Prabu serahkanlah perkara ini kepadaku dan Patih Sengkuni. Aku berharap agar Pandawa menyetujui pengangkatan Duryudana.”
Destarastra menghirup aroma bunga melati dirambut Gendari yang hitam lebat. Suara gemerisik rambutnya menggerakkan tangan Destarastra untuk membelainya. Kemudian bibir mereka berdua pun terdiam. Yang terjadi adalah dialog antar hati nan riuh.
Segera sesudah itu, Gendari menemui Patih Sengkuni. Rupanya pembicaraan diantara keduanya sangat rahasia. Terbukti tidak seorang pun yang diperbolehkan mendekat.
Apa yang mereka rencanakan hanya mereka berdua yang tahu. Yang pasti tentu tidak demi kebaikan Kunti dan Pandawa
herjaka HS